Menurut teori perkembangan kepribadian Erikson, seorang muda akan
memasuki masa kekaburan identitas. Ia menjadi sadar bahwa dunia yang
didiaminya kompleks; jawaban-jawaban yang diperolehnya pada masa kecil
kini tidak memadai. Pertanyaan who am I semakin menguat. Selanjutnya,
Richard Logan, mengutarakan bahwa pada masa ini, akan ada suatu
mekanisme pertahanan untuk mengurangi kecemasan yang timbul akibat
kekaburan identitas, yaitu munculnya identitas negatif. Identitas
negatif ini akan menjadi pelarian dan barang pengganti atas kecemasan
akan kekaburan identitas yang dialaminya. Salah satu bentuk identitas
negatif adalah tawuran itu.
Robert Selman, yang mengembangkan teori perkembangan penalaran sosial (social reasoning) dan interpersonal mengelompokkan kaum muda ke dalam tingkat penalaran sosial keempat, yaitu pengambilan pandangan yang dalam dan simbolis (indepth and societal-symbolic perspective thingking).
Kaum muda tidak hanya mahluk individu, melainkan juga mahluk sosial. Karenanya, faktor-faktor sosiologis juga berperan signifikan dalam pembentukan pribadi seorang muda.
Kaum muda sekarang adalah jeunesse d’ore (kaum muda emas). Bila ditelusuri, kaum muda yang usianya 15-18 tahun itu lahir pada tahun 1984-1987. Pada rentang tahun itu, ORBA sedang gencar-gencarnya menjalankan program KB dengan mottonya: keluarga kecil sejahtera. Jadi, kaum muda sekarang umumnya berasal dari keluarga yang relatif kecil. Di satu sisi memang baik, tapi, mereka tidak memiliki pengalaman berinteraksi dengan banyak macam pribadi dalam keluarga. Berbeda dengan keluarga generasi sebelumnya yang bisa mencapai belasan orang dalam satu keluarga, umumnya, keluarga mereka terdiri dari empat hingga lima orang. Jadi, mereka hanya bisa berinteraksi dengan maksimal tiga hingga empat orang. Perlu diingat bahwa pendidikan keluarga amat dominan dalam pembentukkan pribadi hingga usia 12-13 tahun. Pengalaman yang miskin interaksi ini, mau tidak mau, akan berpengaruh pada ketika ia memasuki masa muda. Bisa jadi, orang muda ini belum mampu membina interaksi dan menyikapi masalah-masalah dalam interaksi sosial, sehingga berakhir pada tindakan yang tidak bijaksana, tawuran misalnya.
Mereka yang mengalami keluarga yang berantakan, misalnya orang tua yang bercerai, saudara selalu bertengkar, berperangai buruk, dsb. akan mengalami luka batin. Keberadaan luka batin ini dapat merusak pembentukan kepribadian seorang muda.
Orang muda yang menjadi fokus kali ini berstatus pelajar SMU. Selain keluarga, lingkungan yang mendominasi adalah lingkungan formal akademis di sekolah. Nyatanya, lingkungan formal akademi ini justru menekan mereka. Ahli pendidikan, J. Drost SJ mengungkapkan bahwa sebenarnya, hanya 30% siswa SMU sekarang yang benar-benar mampu engikuti kurikulum 1994. Sisanya akan keteteran. Padahal, tuntutan untuk menaati kurikulum dan mencapai prestasi yang terbaik terus menekan mereka. Tekanan ini akan terakumulasi dan dapat muncul dalam identitas negatif; salah satunya adalah meluapkan emosi dalam wujud tawuran.
Kaum muda jaman sekarang hidup di dalam masa globalisasi. Ada dua sifat menonjol dalam masa ini, yaitu keterbukaan dan kebebasan. IPTEK yang berkembang dengan begitu pesat membuat dunia yang tadinya tampak luas kini terasa sempit. Fenomena alam yang tadi dianggap magis kini terkuak dan bisa dijelaskan secara logis. Arus informasi dari yang ideal dan luhur hingga yang bejat dan porno dapat diakses oleh kaum muda dengan mudah. Kebebasan juga cenderung berlebihan sekarang. Zaman ini tepat kalau disebut zaman euphorial. Puluhan media masa lahir, dari yang bermutu tinggi hingga yang hanya mengandalkan gambar wanita berpakaian minim. Jalan dialog damai ditinggalkan, jalan pintas yaitu demonstrasi terjadi di mana-mana. Dalam masa ini, batas-batas tertentu, kebebasan diperlukan, namun, ketika kebebasan diartikan sebagai kebebasan tanpa batas, demokrasi menjadi anarkis, kedisiplinan diremehkan, nilai kebebasan jatuh. Di sisi lain, kaum muda ini belum memiliki pegangan moral yang kuat untuk menyaring informasi dan mengolah kebebasan itu. Karenanya, berbagai informasi dan pemenuhan kebutuhan yang negatif dengan mudah meracuni mereka. Budaya kekerasan yang diexpose oleh berbagai media dengan mudah berakar dalam diri mereka. Inilah titik tolak munculnya benih-benih budaya kekerasan yang akan mereka wujudkan dalam tawuran, misalnya.
Jika keseluruhan analisis di atas dirangkum, semuanya mengarah pada jiwa-jiwa yang gelisah. Gelisah karena perubahan psikologis yang belum pernah dialami sebelumnya; membingungkan sekaligus menegangkan. Gelisah karena menyadari faktor-faktor sosiologis
yang kini amat terasa dalam kehidupannya.
Robert Selman, yang mengembangkan teori perkembangan penalaran sosial (social reasoning) dan interpersonal mengelompokkan kaum muda ke dalam tingkat penalaran sosial keempat, yaitu pengambilan pandangan yang dalam dan simbolis (indepth and societal-symbolic perspective thingking).
Kaum muda tidak hanya mahluk individu, melainkan juga mahluk sosial. Karenanya, faktor-faktor sosiologis juga berperan signifikan dalam pembentukan pribadi seorang muda.
Kaum muda sekarang adalah jeunesse d’ore (kaum muda emas). Bila ditelusuri, kaum muda yang usianya 15-18 tahun itu lahir pada tahun 1984-1987. Pada rentang tahun itu, ORBA sedang gencar-gencarnya menjalankan program KB dengan mottonya: keluarga kecil sejahtera. Jadi, kaum muda sekarang umumnya berasal dari keluarga yang relatif kecil. Di satu sisi memang baik, tapi, mereka tidak memiliki pengalaman berinteraksi dengan banyak macam pribadi dalam keluarga. Berbeda dengan keluarga generasi sebelumnya yang bisa mencapai belasan orang dalam satu keluarga, umumnya, keluarga mereka terdiri dari empat hingga lima orang. Jadi, mereka hanya bisa berinteraksi dengan maksimal tiga hingga empat orang. Perlu diingat bahwa pendidikan keluarga amat dominan dalam pembentukkan pribadi hingga usia 12-13 tahun. Pengalaman yang miskin interaksi ini, mau tidak mau, akan berpengaruh pada ketika ia memasuki masa muda. Bisa jadi, orang muda ini belum mampu membina interaksi dan menyikapi masalah-masalah dalam interaksi sosial, sehingga berakhir pada tindakan yang tidak bijaksana, tawuran misalnya.
Mereka yang mengalami keluarga yang berantakan, misalnya orang tua yang bercerai, saudara selalu bertengkar, berperangai buruk, dsb. akan mengalami luka batin. Keberadaan luka batin ini dapat merusak pembentukan kepribadian seorang muda.
Orang muda yang menjadi fokus kali ini berstatus pelajar SMU. Selain keluarga, lingkungan yang mendominasi adalah lingkungan formal akademis di sekolah. Nyatanya, lingkungan formal akademi ini justru menekan mereka. Ahli pendidikan, J. Drost SJ mengungkapkan bahwa sebenarnya, hanya 30% siswa SMU sekarang yang benar-benar mampu engikuti kurikulum 1994. Sisanya akan keteteran. Padahal, tuntutan untuk menaati kurikulum dan mencapai prestasi yang terbaik terus menekan mereka. Tekanan ini akan terakumulasi dan dapat muncul dalam identitas negatif; salah satunya adalah meluapkan emosi dalam wujud tawuran.
Kaum muda jaman sekarang hidup di dalam masa globalisasi. Ada dua sifat menonjol dalam masa ini, yaitu keterbukaan dan kebebasan. IPTEK yang berkembang dengan begitu pesat membuat dunia yang tadinya tampak luas kini terasa sempit. Fenomena alam yang tadi dianggap magis kini terkuak dan bisa dijelaskan secara logis. Arus informasi dari yang ideal dan luhur hingga yang bejat dan porno dapat diakses oleh kaum muda dengan mudah. Kebebasan juga cenderung berlebihan sekarang. Zaman ini tepat kalau disebut zaman euphorial. Puluhan media masa lahir, dari yang bermutu tinggi hingga yang hanya mengandalkan gambar wanita berpakaian minim. Jalan dialog damai ditinggalkan, jalan pintas yaitu demonstrasi terjadi di mana-mana. Dalam masa ini, batas-batas tertentu, kebebasan diperlukan, namun, ketika kebebasan diartikan sebagai kebebasan tanpa batas, demokrasi menjadi anarkis, kedisiplinan diremehkan, nilai kebebasan jatuh. Di sisi lain, kaum muda ini belum memiliki pegangan moral yang kuat untuk menyaring informasi dan mengolah kebebasan itu. Karenanya, berbagai informasi dan pemenuhan kebutuhan yang negatif dengan mudah meracuni mereka. Budaya kekerasan yang diexpose oleh berbagai media dengan mudah berakar dalam diri mereka. Inilah titik tolak munculnya benih-benih budaya kekerasan yang akan mereka wujudkan dalam tawuran, misalnya.
Jika keseluruhan analisis di atas dirangkum, semuanya mengarah pada jiwa-jiwa yang gelisah. Gelisah karena perubahan psikologis yang belum pernah dialami sebelumnya; membingungkan sekaligus menegangkan. Gelisah karena menyadari faktor-faktor sosiologis
yang kini amat terasa dalam kehidupannya.
SUMBER :